Minggu, 19 Januari 2014




Provinsi Aceh Merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia selain Ibu kota Jakarta,Papua, dan Papua Barat yang mendapatkan keistimewaan berupa otonomi daerah, provinsi yang memiliki luas wilayah 57.365.57 Km2  yang terletak di wilayah paling barat Indonesia sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Timur dengan Selat Malaka ini telah mendapatkan otonomi daerah yang telah diberikan oleh pihak pemerintah indonesia pasca konflik panjang ini yang berarti hukum dan kebijakan atau penyelenggraan pemerintah yang dilakukan oleh pemerintah Aceh tidak tergantung lagi oleh pemerintah pusat karena adanya keistimewaan dan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dalam system dan prinsip NKRI  berdasarkan UUD RI 1945. Adapun peraturan yang ada di Aceh disebut “Qanun”  yang mana qanun ini dibuat dan disahkan oleh gubernur yang telah disetujui oleh DPR Aceh.
Kini salah satu Qanun yang merupakan landasan hukum yang ada di Aceh ini tengah menjadi sorotan banyak publik bahkan menjadi kontroversi yang meresahkan banyak pihak,setelah masalah bendera atau lambang aceh yang belum kelar kini masalah yang memanas juga muncul yaitu masalah keberadaan lembaga Wali Nanggroe(LWN), keberadaan LWN ini menjadi kontroversi dikarenakan ada beberapa pihak yang tidak setuju dikarenakan ada beberapa hal yang tidak bisa diterima diantaranya menurut pengamat politik Aceh Mawardi Ismail menilai Qanun Wali Nangroe Aceh berpotensi memecah masyarakat Aceh, Ini lantaran salah satu syarat untuk menjadi anggota Wali Nangroe harus bisa berbahasa Aceh yang mana hal ini menurut Mawardi pengesahan Qanun Wali Nangroe Aceh mengandung kontroversi dan terkesan diskriminasi, karena sebelumnya, Qanun Wali Nangroe telah disahkan oleh pemerintah Aceh ini mengundang kontroversi, terutama bagi masyarakat Gayo yang menganggap keberadaan Qanun Wali Nanggroe justru terkesan ingin menghapus suku lain yang ada di Bumi Serambi Mekkah. Dalam perkara keberadaan LWN ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi juga meminta kepada Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menyesuaikan substansi qanun tersebut dengan ketentuan perundang-undangan lebih tinggi karena Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dinilai banyak melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA. Kewenangan QLWN juga melebihi kewenangan yang diberikan UUPA.Selain Mendagri Gamawan Fauzi, Komisi Hak Asasi Manusia setelah melakukan pemeriksaan atas banyaknya pengaduan masyarakat yang tidak setuju dengan dua qanun itu yang antara lain mereka yang berada di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Singkil, dan Aceh Selatan, menilai dua qanun atau peraturan daerah di Aceh, yaitu Qanun Wali Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, diskriminatif. Menurut Komisi Hak Asasi Manusia beberapa pasal yang ada di dua qanun itu tidak adil dan berat sebelah bagi suku di luar suku Aceh yang berada di Aceh,Ini dikarenakan Qanun Wali Nanggroe menutup kesempatan masyarakat di kabupaten-kabupaten tersebut menjadi Wali Nanggroe Aceh dan ada anggapan bahwa masyarakat Aceh yang berada dan bertempat tinggal di wilayah kabupaten-kabupaten tersebut tidak termasuk rakyat Aceh. (Sumber : KOMPAS CETAK).
Selain masalah keberadaan LWN yang menjadi kontroversi selanjutnya adalah Usulan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang akan menggelontorkan dana Rp50 miliar untuk pengukuhan mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe, dikritik lembaga antikorupsi. Dana yang diusulkan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) Perubahan 2013 itu dinilai tak masuk akal dan menciderai keadilan rakyat. “Bandingkan saja dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih tahun 2009 lalu, hanya dialokasikan sebesar Rp1,2 miliar," kata Kordinator Masyarakat Transparansi Aceh (Mata) Alfian, kepada Okezone, Rabu (2/10/2013). Kritik senada dilontarkan Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh. Menurut organisasi itu, banyak kebutuhan rakyat yang mendesak untuk dipenuhi ketimbang seremonial pengkuhan Wali Nanggroe. "Angka Rp50 miliar itu sangat besar, apalagi event seperti itu hanya seremonial yang tidak menimbulkan dampak bagi masyarakat secara langsung," kata Kepala Divisi Kebijakan Publik Gerak Aceh, Isra Safril. Dana senilai itu, lanjut dia, akan bermanfaat membantu pertumbuhan ekonomi Aceh, khususnya untuk masyarakat di daerah bencana atau terpencil. Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta, Zulfikar, juga mengatakan hal serupa. Apalagi yang akan dilantik dinilai belum membuat terobosan baru untuk Aceh. "Untuk pelantikan Wali Nanggroe cukup seremoni saja dan syukuran untuk anak yatim sekira Rp1,5 miliar sudah sangat memadai," ujarnya.
Terkait polemik Qanun keberadaan LWM yang terjadi akhir-akhir ini memicu kemarahan mahasiswa yang tergabung dalam demonstran Aneuk Barat Selatan (ABAS) mereka melakukan aksi di depan gedung DPRA, Rabu 14 November 2012.Dalam aksinya mereka menolak qanun Wali Nanggroe yang mana didalam pemilihan wali nangroe,calon wali harus bisa berbahasa Aceh yang menutup kemungkinan suku-suku lain yang ada di aceh yang tidak bisa berbhasa aceh untuk menjadi wali dan tidak adanya syarat membaca Al-qur’an yang padahal Aceh merupakan serambi mekah yang mana setiap pemilihan pemimipin yang ada di Aceh wajib bisa membaca Al-qur’an dengan baik dan benar.Didalam demonstran saat itu Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah dan Wakil Ketua, Sulaiman Abda beserta Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, langsung menjumpai para demonstran untuk menjelaskan bahwa Terkait dengan tidak adanya syarat membaca Alquran dalam qanun tersebut, Abdullah Saleh yang merupakan ketua tim Panitia Khusus qanun Wali Nanggroe DPR Aceh.menyatakan tata cara pemilihan Wali Nanggroe berbeda dengan pemilihan dalam pemilu pada umumnya.Menurutnya, wali nanggroe akan dipilih oleh Majelis Mufti, Tuha Peut dan Tuha Lapan. Tim ini yang nantinya akan menilai dan memilih Wali Nanggroe. Menurut anggota Fraksi Partai Aceh ini, Wali Nanggroe juga akan dinilai tingkat pemahaman agama oleh tim, termasuk pemahaman Islam yang mendalam.“Kita berkaca pada pemilihan khalifah pada zaman Umar bin Khatab,” ujar Abdullah Saleh.
Sebenarnya konsep yang terkait dengan qanun Wali Nanggroe ini didalam perspektif islam qanun ini bisa dibilang mewakili konsep syura yang digunakan oleh kepemerintahan islam, Konsep kepemerintahan Islam ini memiliki lembaga pertimbangan yang dikenal dengan Ahlul Ahli Wal Aqdi. Didalam konsep qanun Wali Nanggroe ini juga mencakup lembaga pertimbangan yang sama dengan Konsep kepemerintahan Islam yaitu Ahlul Ahli Wal Aqdi.Konsep Syura merupakan konsep yang mengutamakan kualitas sebuah lembaga kepemerintahan yang mana konsep ini sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan nilai moral yang berpegang pada standar agama islam sesuai dengan Al-qur’an dan  Hadist . Pemangku wali Nanggroe nantinya dipilih oleh Lembaga Tuha Peut dengan kriteria yang telah ditentukan yang diantaranya  Wali Nanggroe harus memiliki kriteria sebagai ahli fiqih, tauhid, tasawuf dan ahli mantiq. Kriteria penguasaan ilmu agama dalam bidang-bidang tersebut guna  memberikan manfaat dan kearifan tersendiri bagi si pemangku jabatan.Karena kriteria-kriteria tersebut sangat sesuai dengan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang ada di suatu daerah yang menganut konsep syari’at islam .

By: (Tajul ula _lpm Detak unsyiah)






0 komentar:

Posting Komentar