Provinsi Aceh Merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia selain Ibu kota
Jakarta,Papua, dan Papua Barat yang mendapatkan keistimewaan berupa
otonomi daerah, provinsi yang memiliki luas wilayah 57.365.57 Km2 yang terletak di wilayah paling barat
Indonesia sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah Timur dengan
Selat Malaka ini telah mendapatkan otonomi daerah yang telah diberikan oleh
pihak pemerintah indonesia pasca konflik panjang ini yang berarti hukum dan kebijakan atau penyelenggraan pemerintah yang dilakukan oleh pemerintah
Aceh tidak tergantung lagi oleh pemerintah pusat karena
adanya keistimewaan dan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang harus disesuaikan
dengan peraturan perundang-undangan dalam system dan prinsip NKRI berdasarkan UUD RI 1945. Adapun
peraturan yang ada di Aceh disebut “Qanun” yang mana qanun ini dibuat dan disahkan oleh gubernur yang telah disetujui oleh DPR Aceh.
Kini salah satu Qanun
yang merupakan landasan hukum yang ada di Aceh ini tengah menjadi sorotan
banyak publik bahkan menjadi kontroversi yang meresahkan banyak pihak,setelah
masalah bendera atau lambang aceh yang belum kelar kini masalah yang memanas
juga muncul yaitu masalah keberadaan lembaga Wali Nanggroe(LWN), keberadaan LWN
ini menjadi kontroversi dikarenakan ada beberapa pihak yang tidak setuju dikarenakan
ada beberapa hal yang tidak bisa diterima diantaranya menurut pengamat politik
Aceh Mawardi Ismail menilai Qanun Wali Nangroe Aceh berpotensi
memecah masyarakat Aceh, Ini lantaran salah satu syarat untuk menjadi anggota
Wali Nangroe harus bisa berbahasa Aceh yang mana hal ini menurut Mawardi
pengesahan Qanun Wali Nangroe Aceh mengandung kontroversi dan terkesan
diskriminasi, karena sebelumnya, Qanun Wali Nangroe telah
disahkan oleh pemerintah Aceh ini mengundang kontroversi, terutama bagi
masyarakat Gayo yang menganggap keberadaan Qanun Wali Nanggroe justru terkesan
ingin menghapus suku lain yang ada di Bumi Serambi Mekkah. Dalam perkara
keberadaan LWN ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi juga meminta kepada Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah berkoordinasi dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk menyesuaikan substansi qanun tersebut
dengan ketentuan perundang-undangan lebih tinggi karena Qanun Aceh Nomor 8
Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe (LWN) dinilai banyak melanggar Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA. Kewenangan QLWN juga
melebihi kewenangan yang diberikan UUPA.Selain Mendagri Gamawan Fauzi, Komisi Hak Asasi Manusia setelah melakukan pemeriksaan atas banyaknya pengaduan masyarakat
yang tidak setuju dengan dua qanun itu yang antara lain mereka yang berada di
Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Singkil, dan
Aceh Selatan, menilai dua qanun atau peraturan daerah di Aceh, yaitu Qanun Wali
Nanggroe dan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, diskriminatif. Menurut Komisi Hak
Asasi Manusia beberapa pasal yang ada di dua qanun itu tidak adil dan berat
sebelah bagi suku di luar suku Aceh yang berada di Aceh,Ini dikarenakan Qanun
Wali Nanggroe menutup kesempatan masyarakat di kabupaten-kabupaten tersebut
menjadi Wali Nanggroe Aceh dan ada anggapan bahwa masyarakat Aceh yang berada
dan bertempat tinggal di wilayah kabupaten-kabupaten tersebut tidak termasuk
rakyat Aceh. (Sumber : KOMPAS CETAK).
Selain masalah keberadaan LWN yang
menjadi kontroversi selanjutnya adalah Usulan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) yang akan menggelontorkan dana Rp50 miliar untuk pengukuhan mantan
petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe,
dikritik lembaga antikorupsi. Dana yang diusulkan dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan Belanja Aceh (RAPBA) Perubahan 2013 itu dinilai tak masuk akal dan menciderai keadilan rakyat. “Bandingkan saja dengan pelantikan
Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih tahun 2009 lalu, hanya dialokasikan
sebesar Rp1,2 miliar," kata Kordinator Masyarakat Transparansi Aceh (Mata)
Alfian, kepada Okezone, Rabu (2/10/2013). Kritik senada
dilontarkan Gerakan Antikorupsi (Gerak) Aceh. Menurut organisasi itu, banyak
kebutuhan rakyat yang mendesak untuk dipenuhi ketimbang seremonial pengkuhan
Wali Nanggroe. "Angka Rp50 miliar itu sangat besar, apalagi event seperti
itu hanya seremonial yang tidak menimbulkan dampak bagi masyarakat secara
langsung," kata Kepala Divisi Kebijakan Publik Gerak
Aceh, Isra Safril. Dana senilai itu, lanjut dia,
akan bermanfaat membantu pertumbuhan ekonomi Aceh, khususnya untuk masyarakat
di daerah bencana atau terpencil. Wakil Ketua
Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh-Jakarta, Zulfikar, juga mengatakan
hal serupa. Apalagi yang akan dilantik dinilai belum membuat terobosan baru
untuk Aceh. "Untuk pelantikan Wali Nanggroe cukup seremoni saja dan
syukuran untuk anak yatim sekira Rp1,5 miliar sudah sangat memadai," ujarnya.
Terkait polemik
Qanun keberadaan LWM yang terjadi akhir-akhir ini memicu kemarahan mahasiswa
yang tergabung dalam demonstran Aneuk Barat Selatan (ABAS) mereka melakukan
aksi di depan gedung DPRA, Rabu 14 November 2012.Dalam aksinya mereka menolak
qanun Wali Nanggroe yang mana didalam pemilihan wali nangroe,calon wali harus
bisa berbahasa Aceh yang menutup kemungkinan suku-suku lain yang ada di aceh
yang tidak bisa berbhasa aceh untuk menjadi wali dan tidak adanya syarat
membaca Al-qur’an yang padahal Aceh merupakan serambi mekah yang mana setiap
pemilihan pemimipin yang ada di Aceh wajib bisa membaca Al-qur’an dengan baik
dan benar.Didalam demonstran saat itu Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah dan Wakil
Ketua, Sulaiman Abda beserta Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, langsung menjumpai
para demonstran untuk menjelaskan bahwa Terkait dengan tidak adanya syarat
membaca Alquran dalam qanun tersebut, Abdullah Saleh yang merupakan ketua tim
Panitia Khusus qanun Wali Nanggroe DPR Aceh.menyatakan tata cara pemilihan Wali
Nanggroe berbeda dengan pemilihan dalam pemilu pada umumnya.Menurutnya, wali
nanggroe akan dipilih oleh Majelis Mufti, Tuha Peut dan Tuha Lapan. Tim ini
yang nantinya akan menilai dan memilih Wali Nanggroe. Menurut anggota Fraksi
Partai Aceh ini, Wali Nanggroe juga akan dinilai tingkat pemahaman agama oleh
tim, termasuk pemahaman Islam yang mendalam.“Kita berkaca pada pemilihan
khalifah pada zaman Umar bin Khatab,” ujar Abdullah Saleh.
Sebenarnya konsep
yang terkait dengan qanun Wali Nanggroe ini didalam perspektif islam qanun ini
bisa dibilang mewakili konsep syura yang digunakan oleh kepemerintahan islam,
Konsep kepemerintahan Islam ini memiliki lembaga pertimbangan yang dikenal
dengan Ahlul Ahli Wal Aqdi. Didalam konsep qanun Wali Nanggroe ini juga
mencakup lembaga pertimbangan yang sama dengan Konsep kepemerintahan Islam
yaitu Ahlul Ahli Wal Aqdi.Konsep Syura merupakan konsep yang mengutamakan
kualitas sebuah lembaga kepemerintahan yang mana konsep ini sangat menjunjung
tinggi nilai keadilan dan nilai moral yang berpegang pada standar agama islam
sesuai dengan Al-qur’an dan Hadist .
Pemangku wali Nanggroe nantinya dipilih oleh Lembaga Tuha Peut dengan kriteria
yang telah ditentukan yang diantaranya Wali Nanggroe harus memiliki kriteria sebagai
ahli fiqih, tauhid, tasawuf dan ahli mantiq. Kriteria penguasaan ilmu agama
dalam bidang-bidang tersebut guna memberikan manfaat dan kearifan tersendiri
bagi si pemangku jabatan.Karena kriteria-kriteria tersebut sangat sesuai dengan
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang ada di suatu daerah yang
menganut konsep syari’at islam .
0 komentar:
Posting Komentar